Pages

Translate

Senin, 14 November 2016

Ketika Aku Menyadari Bahwa Kerja Keras Bukanlah Segalanya

Ketika Aku Menyadari Bahwa Kerja Keras Bukanlah Segalanya

Info

Oleh M.D. Valley, Afrika
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When I Realized Working Hard Isn’t Everything

Seorang rekan kerjaku baru saja pensiun setelah bekerja di sebuah organisasi selama 35 tahun. Dia adalah salah satu orang yang bekerja setiap hari tanpa mengenal waktu dan memberikan hati dan jiwanya bagi pekerjaan yang ada padanya.

Dia adalah seorang yang sangat bergairah, kompetitif, memahami segala situasi yang terjadi, dan terlibat dalam segala hal yang ada di kantor.

Kami membuat pesta perpisahan baginya dan memberikannya sebuah kado dan sebuah kartu. Keesokan harinya, seorang pekerja baru telah mengambil alih posisinya dan emailnya telah dihapus dari mailing list para staf.

Dahulu aku juga seperti itu…

Sejujurnya, dahulu aku sebenarnya sudah ada di jalur untuk menjadi seorang pekerja seperti dia. Aku memberikan segalanya untuk pekerjaanku, aku memimpikan pekerjaanku di malam hari, dan tidak ada hal lain yang kubicarakan selain tentang pekerjaanku. Aku begitu terpaku kepada pekerjaanku sampai-sampai aku berhenti membangun kehidupan di luar pekerjaan.

Aku berhenti berelasi dengan teman-temanku karena aku selalu bekerja atau membalas email-email. Aku tidak dapat menjalin relasi yang ada karena aku selalu menjadi orang terakhir yang pulang dari kantor atau selalu memperhatikan ponselku, dengan cemas menunggu pesan yang aku perlu tanggapi. Aku menjadi kesal jika aku diberitahu bahwa ada hal-hal lain yang penting di hidup ini dan aku harus belajar untuk sedikit lebih hidup.

Hingga suatu hari, aku jatuh sakit dan harus berhenti bekerja selama beberapa waktu. Hanya seorang rekan kerjaku yang menanyakan keadaanku melalui sebuah pesan teks. Aku tidak punya siapa-siapa yang dapat kuajak bicara, tidak ada seorang pun yang menolongku, dan karena aku telah mengabaikan Tuhan, aku merasa sungkan untuk datang kepada-Nya juga. Saat itu, aku menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih dalam hidup ini, dan bahwa aku bukan diciptakan untuk bekerja mengejar keuntungan materi. Aku diciptakan untuk bersekutu (1 Korintus 1:9) dan memuliakan Allah (Yesaya 43:7).

Sebuah pertemuan yang lain

Setelah pencerahan itu, aku mengatur sebuah pertemuan dengan temanku yang sudah pensiun. Dia menceritakan bahwa dia tidak tahu harus berbuat apa setelah pensiun. Dia bercerai karena pekerjaannya, dan sudah lama dia meninggalkan semua hobinya untuk memenuhi tuntutan pekerjaan dan ambisinya. Dia telah menghabiskan seluruh hidupnya untuk mengejar tenggat waktu dan promosi karir, dan seringkali dia merasa segala hal di kantor dapat menjadi hancur jika dia tidak ada di sana untuk menjaganya.

Namun saat dia pensiun, dia menyadari bahwa semua usaha yang dia lakukan adalah sia-sia. Posisinya dengan mudah digantikan oleh orang lain. Karena mengejar karir, dia telah kehilangan fokus akan hal-hal lainnya. Dia kehilangan teman-temannya, keluarganya, dan kemampuan untuk “berfungsi” di luar kantor.

Dia menceritakan bahwa kesalahannya adalah memusatkan pandangannya kepada hal-hal yang berjangka pendek saja. Karena dia begitu terpaku untuk mengejar kesuksesan dalam pekerjaan, dia telah gagal untuk melihat jauh ke depan dan juga gagal menyadari bahwa akan tiba hari di mana dia akan meninggalkan pekerjaan tersebut.

Kini dia baru menyadari bahwa membangun keluarga, komunitas, dan iman adalah sesuatu yang lebih penting daripada jabatan yang dia dapatkan. Menghasilkan dampak bagi kehidupan orang-orang di sekitarnya, mengenal tetangga-tetangganya, melayani Tuhan, menjangkau mereka yang terhilang, adalah pencapaian yang jauh lebih tinggi daripada gaji yang didapatkannya di akhir bulan.

Cerita itu begitu berdampak bagi diriku

Cerita itu juga memotivasiku untuk merefleksikan kehidupanku sendiri. Membaca kitab Amsal dan Pengkhotbah, aku belajar bahwa untuk segala sesuatu ada masanya (Pengkhotbah 3); pekerjaan tidak boleh mengambil seluruh hidupku. Dan jikalau bukan Tuhan yang memberkati pekerjaanku, pekerjaanku akan menjadi sia-sia dan hanya menimbulkan frustrasi, tidak peduli seberapa keras pun aku bekerja (Mazmur 127). Dari pengalaman pribadiku, aku juga menyadari bahwa sama seperti Tuhan yang memberikanku pekerjaan itu, Dia juga mampu untuk mengambilnya atau memberikanku pekerjaan lain.

Aku tidak berkata bahwa kita tidak perlu bekerja keras—Alkitab memanggil kita untuk bekerja dengan rajin (Amsal 6:6-11)—namun tujuanku haruslah untuk mengagungkan Tuhan di atas segala hal lainnya. Dalam segala hal yang kukerjakan, aku berdoa agar Dia memberikanku anugerah untuk “mencari dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya”, dan percaya bahwa segala hal yang aku butuhkan akan diberikan juga kepadaku (Matius 6:33).

Keamananku terletak bukan di mana aku berada dan apa yang aku lakukan, tapi dengan siapaaku bersama. Hidup bukanlah tentang mengetahui segala hal; hidup adalah tentang mempercayai Dia yang berkuasa atas hidup kita. Ketika kita sungguh-sungguh belajar mempercayai Tuhan dan percaya akan cara-Nya bekerja di dalam hidup kita, kita takkan disibukkan lagi akan hal-hal kecil yang ada di sini saat ini, dan kita akan belajar untuk melihat gambaran yang lebih besar dan menyadari bahwa hidup kita bukanlah ada di tangan kita—tapi di tangan Tuhan. Kita perlu menghidupi hidup kita sesuai dengan cara yang dikehendaki Tuhan.

Sekarang, aku memilih untuk meminta Tuhan untuk memakai diriku bagi kemuliaan-Nya, untuk menjadikanku tangan dan kaki-Nya (1 Korintus 12:12-31) dalam cara apa pun yang menyenangkan-Nya. Aku mencoba untuk melihat gambaran besarnya dan tidak fokus kepada apa yang keinginan dagingku dan dunia katakan sebagai sesuatu hal yang penting.

Hal itu membuatku berkomitmen untuk menetapkan waktu untuk meninggalkan kantor setiap hari. Sebisa mungkin, aku mencoba untuk tidak berada di kantor melebihi jam 7 malam. Ada saat-saat di mana aku perlu lembur, tapi aku pastikan itu tidak menjadi sebuah kebiasaan. Aku juga mulai menerima ajakan bertemu dengan teman-temanku, menulis, menjadi sukarelawan untuk hal-hal yang dekat dengan hatiku, dan melayani Tuhan di gereja. Aku juga berjanji kepada Tuhan untuk tidak bekerja dan memeriksa emailku di hari Minggu.

Melakukan perubahan ini membutuhkan waktu tapi aku bertekad untuk tidak menjadikan pekerjaanku menjadi berhalaku. Aku diciptakan bagi Tuhan. Dia bagaikan tukang periuk dan aku adalah tanah liatnya (Roma 9:21).


Sumber
http://www.warungsatekamu.org/2016/10/ketika-aku-menyadari-bahwa-kerja-keras-bukanlah-segalanya/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar