Pages

Translate

Minggu, 10 Januari 2016

Tes Kepribadian bukanlah segalanya








Saya sangat suka tes kepribadian. Dari dulu kalau ada kuis2 kepribadian,saya slalu ikut..Sharing di bawah ini mengingatkan bahwa tes kepribadian tidak sempurna dan kita bisa berubah sesuai rancangan Allah dlm hidup kita. Semangat.

Sumber: www.warungsatekamu.org
Orang introvert itu pendiam, pemalu, dan kurang suka bertemu banyak orang.
Orang ekstrovert itu banyak bicara, suka mendapat perhatian, dan senang bertemu dengan banyak orang.

Kamu mungkin pernah mendengar penggambaran tipe-tipe kepribadian yang semacam itu. Kamu bahkan mungkin pernah menggunakan cara serupa untuk menggambarkan kepribadian seseorang—atau kepribadianmu sendiri.

Bisa dibilang tes kepribadian sedang marak hari-hari ini. Makin banyak perusahaan dan organisasi yang rela mengeluarkan uang untuk membiayai staf mereka mengikuti tes-tes kepribadian, dan makin banyak pula muncul kuis-kuis untuk menganalisa kepribadian.

Sekolah-sekolah juga mulai menggunakan tes kepribadian untuk menolong siswa mengenali diri mereka sejak awal studi. Mungkin ini disebabkan karena orang menyadari tipe kepribadian dapat mempengaruhi perilaku kita, bagaimana kita berelasi dengan orang, dan bagaimana kita menanggapi berbagai situasi.

Beberapa tahun lalu, saat pertama kali mengikuti tes kepribadian, aku bingung dengan hasilnya. Sejak lama aku berpikir bahwa orang menganggap aku sebagai orang yang ekstrovert, jadi aku pun menganggap diriku demikian. Sangat mengganggu ketika hasil tes itu mengatakan bahwa sebenarnya aku cenderung introvert.

Selama ini aku hidup sebagai orang ekstrovert … bagaimana bisa aku sekarang menjadi introvert?

Hasil itu memberi penjelasan mengapa aku punya banyak masalah kepribadian dalam pertumbuhanku. Tekanan sosial dan sikap teman-teman sebaya selama bertahun-tahun telah meyakinkan aku bahwa menjadi orang yang selalu ramah kepada orang lain itu baik. Sebab itu, aku berusaha untuk menjadi seorang yang ekstrovert. Meski begitu, tetap ada juga sebagian orang yang mengatakan bahwa aku “antisosial”, “tidak ramah”, dan “arogan”.

Tes kepribadian tersebut juga mengukur cara pengambilan keputusan seseorang. Menurut hasil tes itu, aku lebih condong pada tipe Thinking (berpikir logis, analitis, menggunakan akal) daripada tipe Feeling (relasional, berempati, penyayang). Tidak heran bila aku sering dicap “dingin” atau dikritik karena menyampaikan pikiran yang objektif dan analitis pada saat orang lain sedang membutuhkan empati. Orang sering memberitahuku bahwa mereka cukup kaget melihat aku bereaksi tanpa “emosi yang tepat”.

Jadi, sekali lagi aku berusaha mendapatkan penerimaan dan menghindari penolakan orang. Aku berpura-pura ramah dan menjadi pribadi yang disukai orang lain, sekalipun di dalam hati sebenarnya aku cenderung sinis dalam memandang orang lain. Ada rasa bersalah dan kepahitan yang muncul di hatiku—aku merasa bersalah karena menjadi orang yang “tidak tulus” sekaligus marah karena orang lain juga sepertinya tidak memberi ruang bagiku untuk tampil “apa adanya”. Setelah bertahun-tahun menerima komentar negatif dari sekitarku, aku bahkan menjadi sangat yakin bahwa aku memang tidak punya kemampuan untuk sungguh-sungguh mengasihi atau mempedulikan orang lain. Aku merasa tidak sempurna dan tidak dikasihi.

Ironisnya, aku bekerja sebagai seorang konsultan untuk pengembangan organisasi. Aku sangat akrab dengan teori, rancangan, pelaksanaan, dan interpretasi dari berbagai tes kepribadian. Meski begitu, aku sendiri tidak bisa menjelaskan mengapa yang aku tahu tentang kepribadianku berbeda dengan yang aku rasakan .

Hingga suatu hari, Allah berbicara kepadaku melalui sebuah khotbah. Pendeta mengutip Yeremia 1:5 yang berkata, “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau.” Khotbahnya berbicara tentang bagaimana kita hidup dalam hubungan pribadi dengan Allah seperti yang Dia inginkan, karena Dialah yang merancang kita dan Dialah yang paling memahami karya ciptaan-Nya. Baik kelemahan maupun kekuatan kita, tidak ada yang tidak Dia ketahui. Allah sendirilah yang menempatkan kita di dalam keluarga kita, negara kita, dan komunitas kita untuk suatu tujuan yang khusus. Pada saat itu, aku mendengar Allah berbicara kepadaku:

“Anakku, Akulah yang menciptakanmu sebagaimana adanya kamu sekarang—termasuk kepribadianmu. Kamu berharga di mata-Ku, dan Aku mengasihimu. Orang-orang di sekitarmu juga akan menyadari hal itu. Tidak ada yang perlu kamu sembunyikan atau khawatirkan, karena Akulah yang telah membentukmu sebagai pribadi yang sesuai dengan rancangan-Ku.”

Aku tertegun. Pesan itu begitu kuat dan dalam hati aku bertanya, “Benarkah ini Engkau, Tuhan?” Aku belum pernah mendengar Dia berbicara langsung dengan begitu jelas. Aku merasa malu dan telanjang di depan Tuhan, namun tidak ada tempat bagiku untuk bersembunyi.

Aku pun berdoa dan menyerahkan tahun-tahun hidupku yang dipenuhi rasa bersalah dan penolakan diri, menangis di hadapan Tuhan dan memohon agar Dia menyembuhkan luka-luka batinku. Rasa lega yang luar biasa memenuhi hatiku. Aku bersukacita menyadari sebuah kebenaran yang tidak pernah berubah: Yesus mengasihiku tanpa syarat. Aku tidak perlu memenuhi standar tertentu untuk mendapatkan kasih itu. Untuk pertama kalinya aku merasakan kemerdekaan hidup dalam kebenaran Firman-Nya, dan aku tidak lagi merasa malu dengan keberadaan diriku.

Carl Jung, seorang psikolog, benar dalam satu hal—kepribadian itu bersifat bawaan. Kepribadian kita sudah ada sejak lahir, karena kepribadian itu adalah pemberian Allah. Dengan kasih, Sang Pencipta membentuk kita satu per satu secara istimewa. Memang kita semua dipanggil untuk menjadi serupa dengan Kristus, tetapi aku percaya bahwa setiap kita juga diciptakan dengan keunikan masing-masing, supaya kita dapat menyatakan kasih Tuhan kepada dunia ini secara kreatif melalui keberagaman kita dalam berinteraksi dengan orang lain.

Setelah pengalamanku diperbarui dengan kasih Allah itu, aku merasa dikuatkan untuk mengubah bagian-bagian kepribadianku yang tidak sesuai dengan tujuan hidupku di dunia ini. Misalnya, sekarang aku tidak langsung menanggapi orang lain dengan kecenderunganku sebagai orang tipe Thinking. Aku mencoba menempatkan diriku pada posisi orang lain lebih dahulu. Beberapa sikap dapat dipelajari, dan akan menjadi makin mudah jika kita melatihnya.

Entah kita termasuk seorang yang ekstrovert atau introvert, tipe Thinking atau Feeling, kita semua dapat berelasi dengan orang lain dan membangun hubungan-hubungan yang bermakna. Pada akhirnya, kita perlu menyadari bahwa tidak ada tes kepribadian mana pun yang dapat sepenuhnya menggambarkan rancangan unik Allah dalam setiap diri kita


Tidak ada komentar:

Posting Komentar